Senin, 15 Desember 2014

Jelajah Mahakarya Indonesia

THS mendapat kunjungan rombongan Jelajah jalur rempah, Mahakarya Indonesia pada 8 Desember 2014. Rombongan yang terdiri atas Fotografer, wartawan, blogger dan sejarawan JJ. Rizal ini mengunjungi Ternate dan Tidore untuk menyaksikan sisa-sisa peninggalan sejarah dan budaya. Selama di Ternate, rombongan ini ditemani oleh Bongky dari THS. Berikut catatan perjalanan yang ditulis oleh Bongky:

Catatan Perjalanan

Persembahan Mahakarya untuk Mahakarya

Beradab-abad lalu, Maluku Utara dikenal sebagai penghasil rempah yang kemudian membawa banyak perubahan di dunia. Mulai dari Colombus yang tersesat dan menemukan benua Amerika, hingga Alfred Russel Walace yang menulis Letter from Ternate kepada sahabatnya Charles Darwin, yang kemudian melahirkan Teori Evolusi.

Negeri Kepulauan ini dulunya dikenal dengan nama Moloku Kie Raha (Moloku = Maluku; Kie = Gunung; Raha = empat). Dinamakan demikian karena terdapat empat kesultanan yakni Ternate, Tidore, Bacan (dahulunya bertempat di Pulau Makian) dan Jailolo (dahulunya bertempat di Pulau Moti). Dari empat wilayah kesultanan inilah bangsa-bangsa timur dan eropa membawa cengkeh, pala, untuk dijual dengan nilai yang tinggi –saat itu nilainya lebih mahal dari emas. Menurut sejarawan JJ Rizal, memiliki cengkeh di eropa saat itu juga adalah tanda kebangsawanan.

Menelusuri Jejak Rempah
Masih tercium aroma tanah yang basah ketika 18 orang dari rombongan Mahakarya Indonesia yang terdiri dari blogger, wartawan, sejarawan, dan pemerhati budaya menapaki jalan setapak kecil menuju cengkih afo 2 (afo artinya tua, dalam bahasa Ternate). Bertempat di ketinggian ±500 mdpl, di kampung Tongole, atau dikenal juga dengan nama kawasan air tege-tege (air yang menetes) di Kelurahan Marikurubu Kota Ternate, Cengkih ini konon adalah cengkeh tertua di dunia. Umurnya sudah dua abad. Cengkih afo 1 yang berumur sekitar empat abad, sudah lama mati. lokasinya berada di atas cengkeh ini.

Berada di dekat Cengkeh Afo, dikelilingi cengkeh lainnya yang berumur sekitar 20 – 30 tahun, rombongan mahakarya berbincang soal bagaimana Portugis dan Spanyol berlomba memperebutkan wilayah ini. Dan kemudian berakhir pada monopoli perdagangan Belanda.


Dari cengkih afo, rombongan kemudian menuju benteng Kastela (Nostra Senora del Rosario). Benteng tertua di Indonesia ini dibangun oleh Potugis. Awalnya dibangun oleh Antonio de Brito pada tahun 1522, kemudian dilanjutkan oleh Garcia Henriques tahun 1525 dan pada tahun 1530 oleh Gonzalo Pereira, lalu diselesaikan oleh Wali Negeri ke delapan Jorge de Gastro pada tahun 1540. Di benteng inilah perlawanan rakyat atas penjajahan bangsa asing bermula. Berawal dari suatu malam di tanggal 27 Februari 1570, Sultan Khairun diundang makan malam dan kemudian dibunuh pada jamuan makan malam itu oleh Antonio Pimental, atas perintah Gubernur Portugis Lopez de Mosquita.Dari peristiwa itu, Sultan Baabullah (1570 – 1583), putra Sultan Khairun, memimpin perjuangan rakyat melawan Portugis, yang akhirnya angkat kaki pada tahun 1575.

Matahari telah condong beberapa derajat ke barat ketika kami putuskan untuk makan siang dan istirahat sejenak di kelurahan Ngade. Sajian siang ini mulai dari kuliner tradisional, sampai pemandangan uang seribu rupiah. Selain itu, bagian depannya terdapat salahsatu Benteng peninggalan Portugis.

Setelah makan siang di kawasan benteng Kota Janji (Santo Pedro, Portugis), kami kemudian menuju Benteng Toluko. Benteng Portugis yang awalnya dibangun oleh Francisco Serao pada tahun 1540 dan kemudian direnovasi oleh Pieter Both (Belanda) pada tahun 1610 ini bentuknya menyerupai kelamin laki-laki. Benteng ini juga sering disebut benteng Holandia. Sultan Madarsyah pernah menempati benteng ini pada tahun 1661.

Dari benteng Toluko, rombongan kemudian menuju Kadaton Sultan Ternate di Kelurahan Soasio. Lokasi kedaton Sultan Ternate awalnya bertempat di Kelurahan Foramadiahi. Di depan Kadaton, terdapat dua lapangan, sunyie ici (lapangan kecil) dan sunyie lamo (lapangan besar). Sebelah kiri lapangan terdapat mata air Ake Santosa. Di samping kiri bagian belakang kadaton, terdapat benteng Naka. Benteng Belanda yang dibangun pada abad ke-18 ini bertujuan untuk mengawasi gerak-gerik sultan dalam mengatur pemerintahannya.

Kemudian rombongan mengunjungi rumah Alfred Russel Walace di Kelurahan Santiong. Rumah ini ditetapkan oleh Syamsir Andili, Walikota Ternate saat itu, sebagai rumah yang pernah ditempati Walace, sewaktu sang naturalis itu melakukan penelitiannya di Maluku Utara. Dan sampai saat ini, masih terjadi perdebatan tentang dimana sebenarnya rumah Walace tersebut.

Persinggahan terakhir kami di hari itu adalah Benteng Kalamata. Benteng Portugis ini dibangun pada tahun 1540 oleh Pigafetta, kemudian dipugar oleh Pieter Both (Belanda) pada tahun 1609. Benteng ini pernah dikosongkan dan kemudian diduduki oleh Spanyol hingga tahun 1663. Pada tahun 1799, Mayor Von Lutnow memperbaiki kembali benteng ini. Nama benteng Kalamata diambil dari nama seorang pangeran Ternate yang meninggal di Makassar pada bulan maret 1676.


Di benteng Kalamata ini, rombongan menikmati tarian soya-soya dengan latar Pulau Maitara, Tidore dan Halmahera. Tarian soya-soya adalah tarian yang diinspirasi dari kisah perjuangan rakyat Ternate yang dipimpin Sultan Baabullah saat menyerang benteng Kastela.


Foto bersama peserta  jelajah Mahakarya Indonesia dengan latar belakang Pohon "Cengke Afo" (Pohon Cengkeh Tertua di Dunia) 
Sejarawan JJ. Rizal sedang menceritakan Sejarah Rempah, Cengkeh dan Pala, di perkebunan Cengkeh dan Pala Aer Tege-tege, Ternate.

Bongky sedang bercerita tentang Cengkeh dan Pala kepada peserta jelajah Mahakarya Indonesia



Peserta jelajah Mahakarya Indonesia di benteng Tolukko

Foto Benteng Tolukko oleh salah satu peserta Jelajah Mahakarya Indonesia, Barry Kusuma.

Peserta jelajah Mahakarya Indonesia mengunjungi Kadaton Sultan Ternate

Kadaton Sultan Ternate dengan latar belakang Gunung Gamalama (foto oleh salah satu peserta Jelajah Mahakarya Indonesia, Barry Kusuma)

menikmati sajian kuliner pusaka Ternate, Popeda dan teman-temannya.

Peserta jelajah Mahakarya Indonesia menikmati tarian Soya-soya di dalam benteng Kalamata.

Foto bersama di atas Ferry menuju ke Tidore, dengan latar belakang pulau Ternate.

peserta jelajah Mahakarya Indonesia disambut oleh Sultan Tidore dan pemangku adat di Kadaton Sultan Tidore

Kadaton Sultan Tidore (Foto oleh salah satu peserta jelajah Mahakarya Indonesia, Barry Kusuma)

ziarah ke makam Sultan Nuku di Tidore.