Jumat, 20 Februari 2015

Selamat Jalan Jo Ou Sultan Ternate





Naskah & Foto : Fadriani
Editor: Maulana

Kamis, 29 Rabiul Akhir 1436 H bertepatan dengan 19 Februari 2015 M, Sesaat setelah mendapat kabar mangkatnya Sultan Ternate ke-48; H. Mudaffar Syah, saya pun bergegas mencari info terkait berita tersebut dengan mendatangi langsung Kadaton Sultan. Memasuki gerbang depan, suasana terlihat sepi, hanya ada penjaga dan beberapa pengunjung yang terlihat melintas. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara melalui pengeras suara yang berasal dari pendopo kesultanan. Di sana telah ramai orang dengan khusyuknya melantunkan ayat-ayat suci al-qur’an. Di tengah pendopo ada beberapa perempuan yang sedang sibuk merapikan sisi-sisi kain putih sebagai sekat pada tandu yang akan mengarak Sultan nantinya. Di kursi kayu berukiran khas yang berderet sejajar sekitar belasan jumlahnya, tampak beberapa pemuka adat juga petinggi pemerintah daerah yang duduk di sana mendampingi seorang ustadz muda yang terlihat khusyu memimpin pengajian. Beberapa di antaranya pernah saya lihat terpajang wajahnya di surat kabar, yang lainnya murni hasil tebakan dari pakaian yang mereka kenakan. Selesai pengajian, diumumkan bahwa Jenazah Sultan diperkirakan tiba di Ternate pukul 5 sore menggunakan pesawat Sriwijaya Air dan rencananya akan disemayamkan sekaligus disholatkan di masjid kesultanan sebelum nantinya dikubur di area pekuburan masjid. Sultan Ternate meninggal dunia pada kamis dini hari, 19 Februari 2015 di rumah sakit pondok indah, Jakarta, pukul 01.35 WIB, setelah dirawat beberapa hari semenjak sakit yang sudah dialami beberapa bulan belakangan.

Pukul 16.30 WIT, ribuan warga telah berkumpul memadati area kedaton Mulai dari anak bayi yang masih dalam gendongan sampai kakek tua yang berdiripun harus dibopong. Kontras dengan suasana pagi tadi yang masih terlihat sepi. Ada sebagian yang merupakan warga disekitaran kedaton, namun tak sedikit pula yang harus menyeberang dari pulau tetangga. “Biar tong tunggu dari pagi me tara apa-apa. Yang penting bisa lia pe jo Ou” ungkap seorang nenek berkebaya putih lusuh yang duduk selonjoran di depan gerbang kedaton ketika ditanyakan sejak jam berapa ia menunggu di tempat ini. Ia jauh-jauh datang dari pulau Hiri hanya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Jo Ou (Jo: Tuan, Ou: Agung; yang dipertuan agung); sebutan mereka kepada sang Sultan yang telah di panggil KeharibaanNya.

Waktu telah menunjukkan pukul 18.30, Matahari mulai condong ke barat, sayup-sayup terdengar alunan ayat al-qur’an dari masjid sekitar pertanda sesaat lagi maghrib menjelang. Namun apa yang dinanti belum juga kelihatan. Antusiasme masih terlihat dengan semakin banyak berdatangan orang-orang memenuhi setiap ruas jalan. Tak ada celah sedikitpun bahkan untuk mempersilahkan iring-iringan melewati jalan menuju kedaton. Puluhan bahkan mungkin ratusan petugas keamanan mencoba menertibkan warga yang mulai terlihat gelisah. Detik-detik berikutnya terasa begitu lambat hingga akhirnya saat gelap mulai menyelimuti pandangan, dari kejauhan tampak lampu sirine biru dengan suara meraung memecah keadaaan. Semua kamera siap dibidikkan… di bawah sana, sebagian besar warga telah bersiap dengan gadgetnya masing-masing dengan lampu kamera yang berkedap kedip. Setelah mobil polisi dengan sirine biru melintas,  orang-orang berpakaian adat berwarna merah kuning yang agak sulit dikenali (karena lampu jalanan yang hanya temaram) memenuhi jalanan yang tersisa, merekalah Bala kusu se kano-kano, abdi kesultanan Ternate. 

Pekikan kalimat talbiyah oleh rombongan tersebut spontan diikuti semua warga yang hadir menyaksikan, begitu khusyuk dan membuat hati berdesir. “Laa Ilaaha Illallaah” “Laa Ilaahaillallaah” “Laailaaha Illallaah” Kalimat ini diucapkan berulang-ulang, menggema menyentuh relung hati siapa saja yang mendengarkan. Tiba-tiba terdengar teriakan yang ditujukan ke arah kami yang sedari tadi berdiri di atas tugu Adipura. “Yang di atas turun samua!!! Tarada yang boleh lebe tinggi posisinya dari Sultan!! Turun!!!” Bentak beberapa orang dengan tatapan tajam menakutkan. Dalam kondisi seperti ini dan kami harus turun? Turun kemana?? Di bawah jalanan padat oleh warga yang berdesak-desakan. Sementara di depan sana sudah mulai terlihat tandu putih yang membawa jenazah sang Sultan. Pilihan cepat yang harus kami ambil adalah; turun dan berdesak-desakan dengan warga lainnya ataukah bertahan untuk tak melewatkan mengambil gambar terbaik yang mungkin melintasnya jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Dan kamipun memilih tetap bertahan dengan memposisikan badan lebih rendah dari Tandu yang melintas, sembari tangan tengadah memegang kamera dengan jepretan yang semakin liar. Begitu iring-iringan tandu semakin mendekat terdengar suara tangisan bersahutan di antara pekikan kalimat talbiyah yang tetap menggema. Allaahu Akbar…. Momen yang tak kan pernah dilupakan oleh siapapun yang hadir saat itu.

Jenazah Sultan yang tiba di bandara Sultan Baabullah sore itu, digotong oleh Bala kusu se kano-kano disertai iring-iringan dan sambutan masyarakat sepanjang jalan dari Bandara sampai ke Kadaton yang berjarak sekitar 5 Km.

Setelah iring-iringan memasuki Kadaton Sultan, semua warga pun bubar meninggalkan tempat, masih dengan perasaan haru yang berkecamuk. Ada wajah puas yang terpancar dari wajah mereka meskipun tak dielakkan raut kesedihan masih terpancar di sana. Masih ada prosesi penting yang harus mereka hadiri keesokan harinya, yaitu upacara pemakaman.

Jum’at, 20 Februari 2015

Pukul 08.30 pagi Prosesi pemakaman Sutan Ternate dimulai dengan Sholat Jenazah yang dilaksanakan di ruang utama kadaton disusul pembacaan riwayat hidup kemudian beberapa sambutan di antaranya oleh pihak keluarga, Sultan Tidore, Walikota Ternate, Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara tausiyah oleh mufti kesultanan, Habib Said Abubakar Alatas Ternate dan ditutup dengan pelantikan H. Arifin Madjid sebagai Kimalaha Marsaoli dan H. Zulkiram Hairuddin sebagai Jogugu oleh Munir Amal Tomagola selaku Kimalaha Tomagola, mewakili Bobato Adat Kesultanan Ternate (Plt. Sultan), dan memperkenalkan (sinonako) Bukhari Efendi Muhammad Djabir Sjah sebagai kapita lao (Panglima Laut, Putra Tertua Kapita Lao sebelumnya yang telah mangkat) yang sudah dilantik sebelumnya oleh Sultan

Di halaman depan kadaton, telah bersiap pasukan pengiring jenazah yang menggunakan pakaian adat kesultanan dengan warna yang berbeda-beda. Diantara mereka ada yang pengiring foto juga yang bertugas membawa nisan. Selain itu juga tampak warga memenuhi halaman kadaton seolah tak ingin ketinggalan peristiwa berharga dalam hidup merea juga keinginan untuk turut serta melepaskan kepergian sang Sultan menghadap Sang Khalik. Suasana mulai haru ketika pihak keluarga menyampaikan sepatah dua patah kata. Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang berkenan membantu segalanya di saat Sultan terbaring lemah dalam sakit hingga menjemput ajalnya. Juga permintaan maaf sekiranya dalam perjalanan hidup beliau terselip khilaf yang menggores hati siapapun termasuk rakyat beliau. Sampai di sini, suasana berganti haru. Tak ada yang mampu menahan gejolak di hati. Isak tangis memenuhi seisi kedaton meskipun terkesan berusaha ditahan agar tak sampai merusak suasana khidmat dalam acara tersebut. Terlihat beberapa orang dari pasukan pengiring jenazah yang mencoba menghapus air mata yang tak sanggup mereka bendung.

Pada kesempatan sambutan oleh Sultan Tidore, beliau menitipkan pesan terkhusus kepada semua anak-anak Sultan untuk tetap menjaga sholat juga amal perbuatan lainnya dengan demikian ayah mereka, Sultan Ternate bisa diberikan kelapangan di alam kuburnya. Do’a anak-anak Shalehlah yang akan memudahkan sang ayah menghadap RabbNya. Demikian pesan Sultan Tidore.  Suasana haru juga mulai terasa begitu mufti kesultanan menyampaikan tausiyahnya. Wasiat dari sultan disampaikan dihadapan rakyatnya. Di antaranya, beliau menitipkan anak-anaknya kepada Sultan Tidore. Beliau juga berpesan agar semua anak-anak dan rakyatnya bersatu. “Cukup sudah tahun-tahun sebelumnya menjadi tahun penuh ujian bagi kesultanan Ternate. Jangan kita biarkan kesultanan ini mau diperdaya dan dipecah belah oleh pihak luar” Pesan sang mufti. Beliau juga menyampaikan wasiat yang lainnya bahwa Sultan Mudaffar Syah adalah Sultan yang memegang prinsip Keislaman berlandaskan pemahaman ahlus sunnah wal jama’ah sehingga beliau meminta agar setelah mangkatnya segera ditunjuk pengganti beliau layaknya penunjukkan Abu Bakar pasca wafatnya Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa salaam. Tausiyah kemudian ditutup dengan doa.

Iring-iringan jenazah pun menuju Sigi Lamo (Masjid Kesultanan Ternate) yang tak jauh dari Kadaton, untuk di sholatkan dan selanjutnya dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Sultan di belakang masjid tersebut, berdekatan dengan makam sang Ayah, Iskandar Djabir Sjah, Sultan Ternate ke-47.

Selamat Jalan Khalifah Turrasid Wa Tubadirrasul Sirajul Mulki Amiruddini Maulana Sultan Ternate Kolano Moloku Kie Raha Drs. Alhajji Mudaffar Sjah, M.Si.


Husnul khatimaah.