Diskusi Pusaka, dengan tema Antara Pelestarian Pusaka dan Pembangunan, dilaksanakan oleh Ternate Heritage Society (THS) tepat pada Hari Pusaka Dunia, 18 April 2013, bekerjasama dengan
LITERA Institute, salah satu lembaga yang fokus pada isu pendidikan, dan juga
memiliki visi terkait pelestarian pusaka, pada bidang seni-budaya nya.
Tema diskusi pusaka tersebut
lahir dari pembacaan kami terkait Propinsi Maluku Utara yang merupakan
salahsatu wilayah di Indonesia, yang pusakanya belum dijaga dan dikelola dengan
maksimal. Bahkan banyak diantara pusaka-pusaka tersebut yang hilang, ada yang
rusak oleh alam dan manusia, dan ada juga yang kini terancam hancur. Banyak
kasus yang telah diadvokasi oleh para pemerhati pusaka di Maluku Utara, baik
secara perorangan maupun secara kelompok. Walaupun upaya pelestarian pusaka
yang dilakukan belum terlalu maksimal, karena masih selalu saja muncul kasus
baru.
Khusus di Kota Ternate, kasus
benteng-benteng masih menjadi isu utama. Dan yang menjadi soal adalah karena
usaha pelestarian pusaka di Kota Ternate, lebih banyak berhadapan dengan
kebijakan pembangunan Pemerintah Kota. Walaupun ada juga masalah yang langsung
berhadapan dengan masyarakat sebagai pemilik pribadi pusaka, seperti rumah dan
lainnya, yang belum memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara menjaga/merawat
dan melestarikan pusaka mereka.
Dalam persiapan Diskusi Pusaka
tersebut, kami menghubungi beberapa orang dan meminta menjadi pembicara
diskusi. Tetapi beberapa diantaranya tidak dapat menghadiri diskusi, seperti
Bapak La Ode Aksa – Kepala BPCB Ternate, yang kala itu sedang berada di
luar Ternate. Dan juga Bapak Mochtar – Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Kota
Ternate, yang awalnya bersedia menghadiri dan menjadi pembicara, tapi pada
menjelang diskusi dimulai, beliau mengkonfirmasi tidak bisa hadir.
Akhirnya pada 18 April 2013,
pukul 16.05 WIT, bertempat di lantai dua Perpustakaan NBC Litera, Jalan K. H.
Achmad Dahlan, Kelurahan Sasa, Depan Kampus Universitas Muhammadiyah Maluku
Utara, diskusi dimulai dengan pertunjukan musik oleh komunitas TAKI. Setelah
memainkan tiga lagu, diskusi pun dibuka oleh Asrul sebagai Moderator, dengan
pembicara Bapak Maman – Arkeolog / Dosen fakultas Sastra dan Budaya Universitas
Khairun Ternate, Bapak Mamat Jalil – Pemerhati Pusaka dari Komunitas Matahati,
yang juga Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate, dan
Bongky dari THS. Dengan peserta diskusi sebanyak 47 orang, yang berasal dari
berbagai komunitas pelestari pusaka, media, kelompok mahasiswa, dan satu orang
utusan dari SMU Negeri 2 Kota Ternate.
Pak Mamat Jalil, sebagai
pembicara pertama, membuka pemaparannya dengan mengatakan bahwa seharusnya
diskusi ini dihadiri oleh pihak pemerintah, agar apa yang menjadi topik dan
tawaran solusi dari diskusi ini, bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk
kebijakan atau rencana kerja pemerintah menyangkut pelestarian pusaka. Beliau
juga menyatakan bahwa perlu adanya peran dari pemerintah maupun masyarakat dalam
upaya pelestarian pusaka.
Lebih lanjut Pak Mamat Jalil
mengatakan Kota Ternate termasuk salahsatu kota pusaka di Indonesia dengan
berbagai macam pusaka yang dimiliki, baik pusaka alam, pusaka budaya berwujud
maupun tak berwujud. Namun kepedulian untuk menjaga pusaka itu sendiri masih
sangat minim baik dari pemerintah daerah maupun dari masyarakat setempat. Pak Mamat
memberikan beberapa contoh terkait kasus-kasus yang berkaitan dengan pusaka di
kota Ternate. Misalnya, pendirian museum di samping kedaton kesultanan Ternate
yang didirikan oleh Pemerintah Kota Ternate yang menuai banyak kontroversi dari
berbagai kalangan. Padahal kedaton sendiri sudah sejak lama dijadikan sebagai
museum Kota Ternate. Yang diperlukan adalah bagaimana manajemen pengelolaan kedaton
tersebut, bukan membangun baru, yang itu juga kemudian mengganggu situs pusaka
di dekatnya.
Contoh lain yang diberikan oleh
Pak Mamat adalah kondisi benteng-benteng yang ada di Kota Ternate. Banyaknya
penduduk yang mendirikan bangunan maupun yang tinggal di dalam bangunan benteng
Oranje, yang lokasinya berada tepat di pusat Kota Ternate. Sampah yang dibuang
sembarang di lokasi benteng sehingga terlihat sangat kumuh. Kesulitan
pemerintah adalah bagaimana harus memindahkan penduduk yang bermukim dalam
lokasi benteng ketika diadakan pemugaran benteng. Bahkan orang Belanda
menertawai model pelestarian pusaka yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dari
berbagai macam pertimbangan yang terjadi, yang terpenting sekarang adalah
bagaimana dari berbagai elemen berkumpul melakukan aksi, mencari model dalam
melestarikan, mempertahankan dan menjaga kekayaan pusaka yang dimiliki oleh
Maluku Utara bukan mengabaikan pusaka tersebut.
Tak jauh berbeda dengan yang
disampaikan oleh Pak Mamat, pembicara kedua pun turut mengiyakan apa yang
disampaikan mengenai kondisi cagar budaya maupun pusaka di Maluku Utara.
Menurut Pak Maman, sudah 30 tahun sejak tanggal 18 April dijadikan sebagai Hari
Pusaka Sedunia pada tahun 1983, namun kita belum juga dewasa dalam upaya
melestarikan pusaka di Indonesia terutama di Maluku Utara. Menurut UU Nomor 11
tahun 2010 tentang Cagar Budaya disitu diatur mengenai pelestarian cagar
budaya, namun lagi-lagi menurut pak Maman kegiatan pelestarian itu masih minim
dilakukan.
Beliau juga memberikan contoh
kondisi benteng di Maluku Utara yang tidak terurus oleh pemerintah. Contohnya,
kondisi Benteng Kastela yang mengalami dua kali roboh sejak di pugar tahun 2005
dan 2006. Ditambah lagi dengan tindakan masyarakat sekitar yang mengambil
bebatuan reruntuhan benteng untuk dijadikan bahan bangunan rumah mereka. Benteng
Tahua di Tidore pun kelihatan memiliki potensi akan roboh. Dan kita cenderung
diam saja melihat kondisi tersebut. Menurut Pak Maman, bagaimana kita mau
melestarikan kalau tidak ada penelitian sebelumnya? Bagaimana juga dengan manajemen
sumber daya budaya kita? Pemerintah Kota Ternate akan merencanakan memugar
benteng oranje dan juga didalam DED, akan dibangun menara air di situ. Akan
dilakukan penggalian untuk pondasi menara air. Yang menjadi pertanyaan apakah
dibenarkan menggali di sekitar situs budaya? Untuk perencanaan pelestarian
pusaka perlu ada kerja yang sinergis antara antropolog, arkeolog dan arsitek.
Undang-undang tentang cagar budaya sudah dua tahun lebih dibuat, namun belum
juga muncul peraturan pemerintah. Akibatnya ini membuat kreatif para investor
untuk merusak bangunan-bangunan cagar budaya. Kalau itu sampai terjadi, maka
apa yang akan kita bayangkan tentang bukti-bukti peradaban kita? Oleh karena
itu peraturan pemerintahlah yang diperlukan sekarang. Terutama dalam hal
ketetapan untuk mengakui sesuatu yang dianggap cagar budaya. Jika tidak, maka
aktifitas masyarakat atau investor menghancurkan cagar budaya kita akan semakin
marak. Saat ini sedang dibahas RUU tentang kebudayaan, dan ini mungkin akan
menjadi perdebatan lagi dari setiap kalangan.
Pak Maman menghimbau agar sebelum
semuanya hilang, mari kita lestarikan pusaka kebudayaan kita. Jangan sampai
anak cucu kita nanti hanya mendapatkan kata “katanya” saja tentang peninggalan
budaya kita. Turut andil dalam pelestarian pusaka adalah sebuah kewajiban,
karena pusaka adalah warisan. Terlepas dari ada atau tidaknya UU atau PP, namun
kita perlu memiliki satu keseragaman dalam pemikiran. Pelestarian pusaka harus
menjadi orientasi kita bersama sebelum semuanya lari ke luar negeri. Contoh
kasus pengklaiman kepemilikan terhadap tarian reog Ponorogo dan batik oleh
Malaysia.
Tema hari pusaka tahun ini
adalah pusaka untuk kesejahteraan rakyat. Kualitas kesejahteraan seperti apa
yang kita harapkan? Sejahtera secara psikologis? Sejahtera secara ekonomi? Tapi
apakah sejahtera secara batiniah itu kita dapatkan? Pak Mamat memberi komentar
lucu “tanyakan kepada para koruptor”.
Artinya perlindungan bagi
kelestarian pusaka itu yang kita usahakan. Ada hak warga Negara untuk
melestarikan pusaka tersebut. Tetapi yang penting pusaka-pusaka ini bernilai
penting terutama bagi pendidikan anak bangsa kita. Secara teknologi, kita bisa
belajar bagaimana manusia zaman dulu membangun dan menciptakan
bangunan-bangunan tersebut. Ini adalah gudang ilmu dan ini berguna bagi
pengetahuan masyarakat kita.
Pak Maman memberikan sedikit
pengetahuan mengenai peninggalan Hindu di Ternate. Ada Arca Dewi Parwati yang
diperkirakan berasal dari abad ke-14, yang kini tersimpan di museum siwa lima Ambon.
Arca ini di temukan saat pembangunan bandara Sultan Baabullah Ternate, di tahun
1987. Begitu juga di Halmahera utara dan Halmahera timur banyak sekali
bukti-bukti peninggalan peradaban nenek moyang kita ribuan tahun lalu seperti
ditemukannya arca-arca. Keberagaman seperti inilah yang ingin diajak kepada
kita semua. Melalui pelestarian pusaka ini dapat kita ciptakan inovasi-inovasi
yang baik bagi pembangunan Indonesia kedepan.
Sebelum memberikan kesempatan
kepada peserta diskusi untuk bertanya atau menanggapi, Asrul sebagai moderator
memberi kesempatan lebih dulu kepada Bongky selaku pembicara ke-3 untuk memaparkan penjelasannya:
Hari ini seluruh dunia merayakan
Hari Pusaka Dunia. Di Indonesia ada lebih dari 40 event yang diselenggarakan
untuk memperingati hari pusaka dunia, yang salah satunya adalah diskusi yang
saat ini kita ikuti. Ini adalah event kita bersama, dan kebetulan kali ini kami
yang memfasilitasi. Demikian Bongky memulai pembicaraannya. Selanjutnya menurut
Bongky, bahwa gerakan pelestarian pusaka di Indonesia belum membuahkan hasil
yang maksimal. Dari sejak ditetapkannya undang-undang Cagar Budaya hingga hari
ini, belum ada aturan turunan yang lebih teknis membahas pelestarian cagar
budaya. Indonesia termasuk salahsatu Negara yang masih riskan ketika kita bicara
tentang pelestarian pusaka. Mulai dari Aceh sampai Papua tidak banyak pusaka
yang bisa dilestarikan. Banyak juga program pemerintah yang berdampak langsung
maupun tak langsung pada pusaka di Indonesia. Bahwa ketika DED benteng Oranje
dibahas, seharusnya pemerintah menyediakan forum tersebut untuk meminta
tanggapan dari pihak-pihak terkait. Tapi tak ada satu pun dari kalangan akademisi
atau pihak terkait lainnya diundang.
Bongky juga mengatakan, ketika bulan
Oktober 2012 lalu, Pemerintah Kota Ternate yang juga adalah anggota Jaringan
Kota Pusaka Indonesia (JKPI), ikut menandatangani MoU pelestarian pusaka pada
Rakerjas JKPI di Surabaya, ternyata komitmen itu hanyalah bohong belaka, karena
tidak ada implementasi dari semangat Mou tersebut. Bongky juga menyatakan bahwa
ternyata frame berpikir pemerintah daerah di Maluku Utara masih jauh dari upaya
pelestarian pusaka. Ketika di banyak kesempatan dan di berbagai media
Pemerintah Kota Ternate menyatakan yang paling peduli dengan pelestarian
pusaka, maka kita bisa melihat contoh bentuk kepedulian mereka itu dari kondisi
benteng-benteng di Ternate. Dia menambahkan, bahwa sistim zonasi yang
ditetapkan pada setiap situs pusaka pun tak pernah jelas. Sebagai contoh,
Benteng Kalamata dan Benteng Oranje.
Saat ini sudah ada anak muda
yang mulai peduli terhadap pelestarian pusaka, seperti mulai membiasakan berbicara
dan mengkaji soal bahasa Ternate, bahasa Tidore, dan lain-lain. Namun Bongky melontarkan
pertanyaan apakah kesadaran itu hanya sampai pada komunitas-komunitas muda
tersebut? Apakah event hari ini hanya sebatas pada pengetahuan apa itu pusaka
saja? Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap pelestarian pusaka di Maluku
Utara?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
harus kita jawab secara bersama.
Suasana diskusi pusaka hari ini
munai nampak serius. Dan untuk menghilangkan ketegangan tersebut, di sela-sela
diskusi, moderator memberikan kesempatan kepada kelompok seni yang hadir pada
saat itu untuk mementaskan 3 lagu hasil karya mereka. Dan Cenge-cenge adalah
judul lagu yang pertama kali dibawakan oleh kelompok seni bernama Taki itu. Sedikit
memberi referensi bahwa Cenge-cenge
adalah permainan tradisional anak-anak Maluku utara, yang saat ini sudah hampir
tidak ada lagi anak-anak yang memainkannya. Dan suasana diskusi lebih meriah,
ketika Pak Maman ikut menyumbangkan lagu yang kemudian dikolaborasikan dengan
pembacaan puisi oleh Pak Mamat.
Setelah menikmati beberapa
persembahan karya seni, diskusi dilanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada
para peserta untuk bertanya atau menanggapi apa yang sudah dipaparkan oleh
ketiga pembicara tersebut.
Kesempatan pertama diberikan
kepada Miron dari komunitas Taki, yang juga mahasiswa fakultas sastra dan
budaya Universitas Khairun Ternate. Miron bertanya tentang pembangunan Water
Boom yang disetujui oleh pemerintah kota Ternate. Yang membuat dia bingung
adalah Water Boom itu dibangun berada tepat disamping benteng Kalamata, yang
juga termasuk salahsatu situs budaya di Ternate. Menurutnya, apakah pemerintah
Ternate benar-benar tidak tahu atau memang sengaja membangun yang kemudian
berpotensi merusak situs pusaka di sampingnya?. Apa strategi yang harus
dilakukan untuk mengatasi hal ini? Sementara dinas kebudayaan dan pariwisata
Kota Ternate sendiri cenderung cuek dan tidak melakukan apa-apa terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerahnya sendiri.
Selanjutnya kesempatan kedua,
diberikan kepada Fahrizal alias Chalo. Menurutnya, bicara soal pusaka alam,
disitu ada bumi, hutan, tanah, air, dan unsur-unsur lainnya. Sementara Izin
Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan semakin meningkat setiap tahun. Fakta
dilapangan yang kami temukan, ketika sebuah investasi skala massif masuk ke
sebuah daerah, maka akan mempengaruhi kearifan lokal masyarakat tempatan, seperti
gotong royong dan segala cipta, rasa dan karya masyarakat lokal atau peninggalan
nenek moyang kita hilang atau musnah. Bagaimana pemerintah melihat ini?
Penanya
ketiga bernama Astuti, memberikan tanggapan maupun pertanyaan tak jauh beda
dengan Miron dan Chalo. Terkait pusaka alam di Maluku Utara, menurutnya bahwa
pengerukan sumber daya alam yang terus terjadi dilakukan oleh investasi skala
massif justru menghancurkan pusaka alam di Maluku Utara, maupun Indonesia
secara keseluruhan. Pusaka budaya yang tidak berwujud pun mulai hilang. Lalu
gerakan seperti apa yang harus kita buat dalam menjaga dan melestarikan pusaka
ini? Sementara Indonesia sudah menghasilkan kebijakan dan aturan terkait ini.
Namun hasilnya masih nol. Bahkan dinas-dinas terkaitpun malah campur tangan
dalam penghancuran terhadap pusaka-pusaka tersebut. Demikian Astuti mengakhiri
pertanyaannya.
Pak
Maman memberi komentar menarik bahwa ini adalah bukti para pelestari itu ada. Bukan
saja sekedar ada tapi “mengada”. Sementara itu beliau juga menjawab pertanyaan
mengenai aktifitas pembangunan yang dilakukan pemerintah, serta aktifitas
pertambangan di Maluku utara yang turut andil memberi kerusakan bagi cagar
budaya baik itu pusaka alam maupun pusaka budaya yang berwujud dan tak berwujud.
Terkait pembangunan waterboom, mereka pernah bertanya kepada Badan Perencana
Pembangunan Daerah (Bappeda), ternyata kelihatan tidak ada perencanaan yang
baik pada proyek tersebut. Jadi mereka menginisiasi membuat sendiri zonasi disitu,
walaupun masih dalam skala mikro. Kelihatan nyata bahwa benteng Kalamata sudah
terjepit. Ada rumah pribadi warga
yang didirikan tepat disamping benteng. Waterboom selain dibangun diatas lahan
yang sudah ada, ternyata mereka juga melakukan mereklamasi disitu. Ini bisa
berdampak kerusakan pada dinding-dinding benteng ketika terjadi abrasi.
Selanjutnya
soal lahan konsesi PT. Weda By Nikel (WBN), disitu ada peradaban nenek moyang
kita. Ada kawasan bentang alam karts yang memiliki potensi ketersediaan atau
penampung air yang juga memiliki peninggalan peradaban masa lalu. Jikalau
potensi penyimpanan air itu hilang, maka sumber air di Halmahera pun akan berkurang.
Selain itu, di Kawasi, ada benteng peninggalan Belanda yang sudah habis digilas
akibat pembangunan jalan menuju lokasi pertambangan. Tentang pusaka untangible,
menurutnya ini memang realita yang terjadi di Negara-negara berkembang. Jangankan
yang sudah tergusur, yang belum tergusur pun sudah hilang. Contohnya seperti
gotong royong, sopan santun, kepatuhan, etika, dan lain-lain.
Hubungan
antara pelestarian pusaka dengan pembangunan, yang jelas bagi kepentingan
ekonomi bisa mendatangkan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat. Selain
itu, daya cipta kreasi kita telah terselamatkan dan telah terlestarikan. Maka
gerakan apa yang bisa kita kerjakan bersama? Bagaimana cara kita membangun dan
menyebarkan virus-virus kesadaran ini ke semuanya?
Pak
Maman menjawab sendiri pertanyaannya tersebut, yakni melalui pengajaran kepada
Sekolah-sekolah dasar. Ini yang menjadi awal pelestarian pusaka kita.
Substansinya ada di Sekolah dasar ini. Kita perkenalkan tentang jati diri,
nilai-nilai dan pusaka-pusaka milik Indonesia. Upaya-upaya ini akan jauh lebih
berguna untuk masa depan. Kalau belum dilakukan sekarang, maka ayo kita
bergerak bersama.
Beliau
juga menceritakan pengalaman dua bulan lalu ketika secara kebetulan iseng
mengamen dari SD ke SD tanpa mengharapkan imbalan apapun. Tujuannya hanya ingin
meninggalkan jejak disitu. Ngamennya dalam bentuk mendongeng. Mengajarkan
nilai-nilai moral dari dongeng-dongeng itu. upaya-upaya seperti ini selayaknya
harus kita pikirkan bersama. Mengajarkan segala sesuatu yang berguna apapun itu
dalam bentuk apapun sepanjang itu tidak menghancurkan. Lalu, sudahkan itu kita
kerjakan? Kalau belum, Ayo kita sama-sama kerjakan. Demikian, himbauan
dilontarkan oleh Pak Maman kepada 40-an peserta yang hadir saat itu.
Sedangkan
untuk Pak Mamat, beliau menanggapi bahwa sebenarnya pemerintah tidak memberi
ruang kepada lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada pelestarian pusaka, sehingga
pembangunan benteng Kalamata pun sembarangan. Dan yang dibangun dekat
dengan benteng tersebut tidak memberikan manfaat apa-apa kepada anak-anak kita
yang biasa hidup dan bermain di laut. Ketika menteri kebudayaan datang ke Benteng
Oranje, kita tidak diberi ruang, malah dituding sengaja mempertahankan asset
Belanda. Di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur banyak persoalan tambang,
seperti di Bicoli, terdapat aktifitas penambangan bahan pembuat pesawat. Dan kebanyakan
wilayah aktifitas kebudayaan masyarakat setempat masuk pada wilayah
pertambangan.
Kami
sudah menyoroti soal peninggalan-peninggalan itu. Kami dari Matahati,
bersama-sama dengan THS dan kelompok pelestari lainnya, sudah banyak melakukan
upaya-upaya ini. Pertanyaannya, apakah dinas terkait akan memberikan peluang
bagi para pemerhati pusaka? Menurutnya, perlu ada lembaga yang mengidentifikasi
pusaka yang ada di Ternate. Juga perlu melakukan kajian mendalam terkait
pusaka, yang ini dapat jadi rekomendasi untuk melahirkan Peraturan Pemerintah.
Bongky juga memberikan jawaban terkait pembangunan Water Boom disamping benteng
Kalamata. Menurutnya, memang kita tidak punya kekuatan yang besar untuk melawan
ini. Saat ini pemerintah masih memiliki tangan yang kuat. Tetapi pusaka bisa
menjadi senjata yang kuat untuk meneriakkan kepada dunia internasional bahwa di
sini juga ada yang perlu dijaga. Bongky juga mengatakan, perlu adanya
konsolidasi di tingkat pelestari pusaka. Kalau ide gerakan belum bisa
menyatukan kita, mungkin kita bisa gunakan satu objek pusaka sebagai pemicu
awal konsolidasi gerakan pelestarian pusaka. "Saya juga sepakat dengan Pak
Maman, untuk saat ini jangan kita bertanya bagaimana kita melakukannya, tapi
sudahkah kita melakukannya?”, ungkap Bongky dengan penuh semangat.
Di
sesi terakhir diskusi ini masih ada beberapa orang peserta lagi yang ingin
mengutarakan pendapatnya. Cecep, misalnya mengutarakan perlu adanya model
kampanye yang pas agar pusaka tetap lestari. Penting juga menjelaskan
nilai-nilai yang terkandung dalam pusaka maupun cagar budaya. Interkoneksi
antara apa yang sudah dibahas dengan aksi praksis juga harus tetap dilakukan.
Terakhir dia mengutip kata Condera, bahwa perjuangan kita sesungguhnya adalah
“melawan lupa”.
Selain
itu ada juga Cakra dari PMII yang mengawali komentarnya dengan mengucapkan
“Selamat Hari Pusaka Sedunia”. Dia menghimbau agar jangan selalu menyalahkan
pemerintah saja, namun sejauh mana gerakan pemuda selama ini dalam melestarikan
pusaka di Maluku Utara.
Seorang
Pamong Budaya yang hadir pada diskusi ini juga memberikan saran agar kita memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang pentingnya menjaga dan melestarikan pusaka agar menjadi
asset bagi anak cucu kita nanti. Karena berdasarkan pengalamannya di lapangan
saat mengerjakan pendataan kebudayaan, banyak masyarakat yang tingkat
pemahamannya masih rendah. Sementara pemerintah dan pemuda mendesak harus
melestarikan kebudayaan kita.
Satu
hal yang menarik adalah ajakan dari Ina Daeng Barang, perwakilan dari Radio
Diahi FM. Ina mengajak lebih bersifat action dalam gerakan pelestarian pusaka ini.
Di radio RRI dan radio DIAHI ada program cerita rakyat untuk anak-anak dan Ina
mengajak peserta diskusi untuk bergabung dan terlibat bersama dalam acara
tersebut yang dilaksanakan setiap hari minggu.
Menurut
Pak Mamat, aset Cagar Budaya itu disyaratkan oleh undang-undang dimiliki oleh
Negara dan masyarakat. Untuk pemugaran dan pembangunan itu masuk dalam zona
pemerintah. Tapi ada juga zona masyarakat, namun pemerintah tidak memberikan
apa-apa. Contohnya, jika pemugaran Benteng Oranje dilakukan, apakah pemerintah
akan memberikan ruang kepada masyarakat untuk memberikan tanggapan? Yang selama
ini membuat kita kaget adalah ketika sudah membangun baru kemudian diketahui
oleh masyarakat. Untuk perhatian di asset kebudayaan ini menurutnya bukan hanya
turun ke jalan saja. Namun, kita harus melakukan penelitian, mengidentifikasi
apa saja yang dimiliki oleh masyarakat. Dan kita bisa bertindak cepat sebelum semua
itu dihilangkan oleh pemerintah.
Sedangkan
Bongky menanggapi ketiga pertanyaan tersebut dengan melihat bagaimana benteng
atau pusaka tersebut dari satu sisi. Menurutnya, banyak hal yang bisa
dimanfaatkan dari benteng. Dia juga membenarkan apa yang dikatakan oleh Cecep
bahwa ada nilai yang bisa diambil dari cerita benteng-benteng tersebut. Dan
menurutnya juga masih banyak hal lain yang lebih menarik dari pusaka-pusaka
tersebut. Dia juga mengatakan bahwa memang kita tidak harus selalu menyalahkan
pemerintah, tapi juga hal ini harus diinformasikan kepada masyarakat sebagai
pemilik agar memiliki pemahaman. Ini adalah tanggung jawab kita bersama, agar
masyarakat bisa mengetahui bagaimana menjaga, mengelola dan melestarikan pusaka.
Menanggapi
pertanyaan maupun saran dari para penanya sesi terakhir, Pak Maman
mengatakan bahwa memang selama ini kita
tidak menampilkan latar belakang sejarah dimasing-masing cagar budaya yang
dimiliki. Menurutnya, pekerjaan-pekerjaan seperti ini sangat mungkin dilakukan
terus menerus agar bisa diteruskan kepada masyarakat luas. Ini adalah pekerjaan
untuk kebudayaan dan kejayaan daerah. Dan peringatan hari pusaka ini merupakan
upaya pelestarian terhadap pusaka. Ajakannya adalah Ayo kita turun ke
masyarakat untuk melakukan gathering mendiskusikan ini secara bersama. Namun
bagaimana jika menurut masyarakat pusaka tersebut tidak penting? Ini yang
menjadi masalah bagi kita. Dua bulan lagi akan ada hari purbakala. Kita semua
punya hak berbudaya dalam upaya memenuhi kualitas bangsa, untuk menjadikan bangsa
ini adil. Maka dari itu dari beberapa moment kita bisa duduk bersama, tidak
hanya saling menyalahkan, tidak hanya berkeluh kesah, tapi harus berani
mengajukan saran. Kongkritnya adalah tidak hanya sekedar bercerita. Demikian
Pak Maman memberikan jawaban sebagai penutup pada diskusi Hari Pusaka Dunia
kali ini.
Ternate Heritage Society mengucapkan Terima kasih kepada Litera Institute dan semua pihak terutama peserta diskusi yang telah hadir dan menyemarakkan peringatan Hari Pusaka Dunia di Ternate. Semoga semangat kepedulian, kecintaan dan kebersamaan akan semakin menguat untuk kegiatan-kegiatan Pelestarian Pusaka berikutnya.
Selamatkan Pusaka Ternate!!
Selamatkan Pusaka Indonesia!!
Salam Lestari!