Minggu, 28 September 2008

KOLANO UCI SABEA Malam 27 Ramadan di Kesultanan Ternate.

Gerbang Kadaton Sultan Ternate "Ngara Opas" yang dijaga 2 petugas berbaju besi di saat Ritual "Kolano Uci Sabea"



(Kolano = Raja, Uci Sabea = Turun Sholat)
Tradisi Sultan Ternate Sholat bersama rakyatnya di masjid Kesultanan (Sigi Lamo/masjid besar) dilaksanakan setahun hanya 4 kali, yaitu pada malam tanggal 15 Ramadan (malam Qunut), Malam ke-27 Ramadan (malam ela-ela/menyambut Lailatul Qadr), Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.

Tradisi ini menarik sekaligus unik karena iring-iringan Sultan disertai seluruh perangkat Kesultanan (Bobato Dunia & Bobato Akherat), panji-panji Kesultanan, dan diiringi oleh seperangkat Gamelan pemberian Sultan Gresik yang dimainkan dengan irama khas, membentuk alunan musik yang disebut Cika Momo. Disinilah kesempatan Rakyat dapat menyaksikan langsung dan berjabat tangan dengan Sultan.

Menurut Sultan Ternate Mudaffar Sjah II, selain sebagai siar Islam, tradisi ini dilakukan sebagai bentuk kebersamaan antara Penguasa dengan rakyatnya (Jou se ngofa ngare). Tradisi Kolano Uci Sabea sudah dilakukan sejak abad ke-15 pada masa pemerintahan Sultan Marhum (1465-1486)

Untuk tradisi Kolano Uci Sabea di malam 27 Ramadhan, iring-iringan Sultan disertai para abdi (bala kusu) dengan membawa obor, melalui jalan yang diterangi obor dan damar yg dibakar pada batang pisang. Tradisi membakar damar dan obor atau lampu minyak di malam 27 Ramadhan disebut juga tradisi Malam Ela-ela, yang dimaknai sebagai upaya menerangi Tempat dan  Jiwa masyarakat dalam menyambut datangnya Lailatul Qadr. Tradisi malam Ela-ela berlangsung di seluruh penjuru Moloku Kie Raha.

Berikut liputan foto Kolano Uci Sabea di Kesultanan Ternate, malam 27 ramadhan 1430 H./ 26 September 2008 dan  diikuti dengan rangkaian ritual di Kadaton.

Foto & Teks oleh: maulana


iring-iringan Sultan Ternate dengan seperangkat gamelan hadiah dari Sunan Gresik.


Sultan Ternate ke-47: Mudaffar Sjah II, ditandu menuju Masjid Kesultanan (Sigi Lamo)



Bala kusu  siap memberi penghormatan kepada Sultan yang akan lewat

Usai Sholat, Sultan dan Istri duduk di ruang utama Kadaton (Foris Lamo) untuk disalami oleh Rakyat

Sultan Mudaffar Sjah II bersama Istri berfoto di Ruang Utam/Foris Lamo  Kadaton Ternate 

selanjutnya Sultan memasuki kamar puji

Abdi Kesultanan meminum air yg sudah dibacakan doa di Foris Lamo

Anak-anak pembawa panji-panji Kesultanan pun ikut makan bersama di Pandopo Kadaton setelah prosesi Kolano Uci Sabea

setelah berganti pakaian, Sultan Ternate menghadiri acara silaturahim di Pandopo Kadaton


Abdi Kesultanan (Bala kusu) memberi hormat kepada Sultan Ternate di pandopo Kadaton.


Acara malam 27 Ramadan ditutup dengan Tahlil oleh pengurus masjid Kesultanan (Bobato Akherat) di Foris Lamo, Kadaton Sultan Ternate. Doa yang dibacakan termasuk doa untuk keselamatan Kesultanan dan Rakyat Moloku Kie Raha.



Rabu, 24 September 2008

Prosesi “Jou Kolano Uci Sabea” & Pelaksanaan Sholat Id di Mesjid Kesultanan Ternate -intangible heritage-

Narasi oleh : Busranto Abdullatif Doa
Photography : Maulana

Setiap tanggal 1 Syawal dan tanggal 10 Zulhijjah pada tahun Hijriah, seluruh umat muslim sedunia melaksanakan Ibadah Sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Begitu pun bagi masyarakat muslim yang ada di Ternate-pun berkewajiban melaksanakan ibadah tersebut setelah sebulan sebelumnya melaksanakan puasa wajib pada bulan Ramadhan.

Terdapat suatu kebiasaan unik yang hanya ada di lingkungan keraton kesultanan Ternate adalah prosesi kegiatan Sang Sultan yang turun dari Istana untuk melaksanakan ibadah sholat Id di mesjid kesultanan Ternate yang berjarak sekitar 500 m dari bangunan keraton (istana).

Dilihat dari sudut proses verbal kegiatan tersebut, merupakan sebuah kebiasaan seremonial atas keberangkatan Sang Sultan dari Keraton menuju ke Mesjid Kesultanan Ternate untuk melaksanakan Sholat Idul Fitri maupun Idul Adha. Kegiatan ini sudah berlangsung di lingkungan keraton kesultanan Ternate selama ratusan tahun. Prosesi ini dalam bahasa Ternate disebut dengan istilah “Jou Uci Sibea”.

Jou Uci Sibea masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Ternate hingga saat ini, dengan catatan apabila pada saat pelaksanaan hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha Sultan Ternate sementara berada di keraton atau di kota Ternate. Namun ketika Sri Sultan Haji Mudaffar Syah II pada kedua hari besar tersebut sedang tidak berada di tempat, maka prosesi ini tidak dilaksanakan. Inti dari pelaksanaan prosesi ini adalah kehadiran sang Sultan di tengah-tengah rakyatnya yang setia dan siap selalu mengiringi rombongan Sultan menuju ke mesjid. (rakyat dimaksud adalah masyarakat lingkungan adat Ternate, mereka biasanya disebut dengan istilahBala Kusu se Kano-Kano”).

PERSIAPAN AWAL

Biasanya, tiga atau empat hari sebelum pelaksanaan Sholat Id, semua perangkat dan segala kebutuhan yang dibutuhkan pada prosesi ini sudah dipersiapkan secara matang oleh Badan Rumah Tangga Istana yakni Sadaha Kadato yang dipimpin oleh seorang Sowohi yang juga dibantu oleh Morinyo (Ajudan Sultan) dan Alfiris (Satgas). Kegiatan persiapan yang mereka dilakukan berupa :

1. Melakukan koordinasi dengan para Mahimo (Kepala Kampung) untuk mengumumkan bahwa Sang Sultan saat ini berada di keraton dan akan melaksanakan sholat Id di Mesjid Kesultanan Ternate termasuk masyarakat di pulau Hiri dan pesisir Jailolo.
2. Memastikan petugas yang melaksanakan tabuh gamelan dan gong untuk mengiringi perjalanan rombongan menuju mesjid.
3. Memilih anak laki-laki sebanyak 12 orang untuk membawa seperangkat peralatan “Kabasarang Kolano”.
4. Kelengkapan yang dikenakan (pakaian kebesaran) sang Sultan.
5. Payung kebesaran Kesultanan (3 buah).
6. Kursi khusus yang dipakai untuk menggotong Sang Sultan (ditandu).
7. Perlengkapan Gamelan untuk mengiringi rombongan Sultan menuju mesjid.
8. Tongkat Khatib untuk dipakai saat naik ke mimbar saat menyampaikan berkhutbah.
9. Nampan untuk meletakkan kitab naskah khutbah.
10. Taplak putih penutup Nampan.
11. Seperangkat peralatan-peralatan “Kabasarang Kolano”, yang terdiri dari :
a). Tongkat Kebesaran Kesultanan.
b). Bendera Kesultanan, yang disebut “Paji Goheba ma-Dopolo Romdidi”.
c). Tempat ludah Sultan.
d). Helm Tembaga Sultan.
e). Pedang Kebesaran.
f). Bross Sultan.
g). Tempat Cuci Tangan dari Tembaga.
h). Tempat Pinang / Sirih.
i). Dll.
12. Melakukan koordinasi dengan pihak juru masak istana untuk mempersiapkan makan secukupnya sesuai keperluan makan ala kadarnya setelah pelaksanaan sholat Id di mesjid kesultanan.

PROSESI MANUJU MESJID

Penentuan hadirnya tanggal 1 bulan syawal pada tahun Hijriah di Ternate ditetapkan dengan hasil Ruk’yat yang dilakukan sejak malam harinya. Secara tradisional, ruk’yat dipantau dari desa Ruwa pulau Ternate yang menghadap ke arah barat, karena kota Ternate berada di pantai timur pulau Ternate.

Pelaksanaan Ruk’yat dilaksanakan oleh gabungan beberapa petugas dari mesjid kesultanan Ternate, petugas dari mesjid Heku dan beberapa mesjid lainnya di Ternate. Petugas yang melakukan tugas pemantau ruk’yat ini biasanya bermalam di desa Ruwa dan kembali setelah sholat Subuh menjelang pagi.

Kabar terakhir dari hasil ruk’yat ini disampaikan pada menjelang pagi ke seluruh kampung agar diketahui oleh masyarakat dengan menggunakan simbol isyarat. Apabila pantauan mereka membawa hasil maka bahasa simbol yang disampaikan adalah “Kate-Kate” (= tanggal 1 bulan Syawal telah datang), sedangkan pemantauan tidak membawakan hasil, termasuk karena cuaca mendung, maka mereka menyebutnya “Moa” (= lurus, maksudnya tidak ada yang bisa dilihat).

Masyarakat yang ingin melaksanakan sholat Id di mesjid kesultanan biasanya setelah sholat subuh langsung beramai-ramai berangkat dari rumahnya menuju ke keraton. Pakain yang dikenakan oleh masyarakat adat di Ternate biasanya berwarna-warni dan polos tanpa motif atau bergambar. Penutup kepala yang dipakai untuk melaksanakan sholat Id di mesjid kesultanan berfariasi, ada yang menggunakan kopiah hitam, kopiah haji (putih), tuala lipa batik, namun sebagian besar yang menggunakan tuala lipa kuraci (berwarna kuning, yang merupakan identitas keprajuritan kesultanan Ternate yang sudah eksis sejak ratusan tahun lalu).

Menjelang pukul 06.00 WIT, para Bobato Akhirat (Dewan Keagamaan Kesultanan) yang dikepalai oleh seorang Kadhi atau sering disapa Jo’ Kalem beserta bawahannya yang terdiri dari 5 orang Imam Utama di mesjid kesultanan (Imam Jiko, Imam Jawa, Imam Sangadji, Imam Moti, dan Imam Bangsa) dengan terus menyuarakan gema takbir, sambil naik ke tangga keraton untuk menghadap Sultan seraya melaporkan bahwa segala kesiapan untuk pelaksanaan sholat Id sudah dipersiapkan secara matang, tinggal menunggu kehadiran Sri Sultan. Sementara para petugas yang lain dan masyarakat yang sudah sejak tadi berkumpul dan menanti di pelataran halaman keraton menghadap ke balkon istana agar bisa bersama rombongan menuju mesjid.

Sebagaimana dipaparkan di atas, setelah melapor mereka diberikan 1 buah tongkat yang dipakai oleh khatib pada saat naik ke mimbar untuk menyampaikan khotbahnya dan sebuah Nampan yang ditutupi kain putih berisi naskah khutbah yang akan disampaikan di mimbar mesjid serta tiga buah payung kebesaran kesultanan. Setelah menerima perangkat tersebut, Sultan kemudian memerintahkan mereka untuk mendahului dan menunggu di tangga. Sedangkan tongkat dan Nampan yang ditutupi kain putih langsung oleh petugas dibawa ke mesjid terlebih dahulu.

Seketika mulai terdengar suara dentingan gamelan dan gong memecah suasana hening masyarakat yang sejak dari tadi penuh hikmat mengikuti prosesi ini. Gamelan yang dipakai hingga saat ini adalah satu-satunya peninggalan dari Sultan Zainal Abidin Syah yang memerintah dari tahun 1486–1500. Petugas pemukul gamelan merupakan warisan masa lalu, yakni mereka yang menjadi keturunan dari para penabuh generasi sebelumnya. (dalam gambar tampak Srd. Ramli yang memimpin kelompok penabuh gamelan dan gong)


Sekitar lima menit setelah peembawa tongkat khatib dan nampan turun dari tangga sebelah kanan balkon istana, sejumlah bocah laki-laki berusia 8–12 tahun, yang berpakaian serba putih dan ikat kepala berwarna hitam (lastar) secara beriringan menuruni tangga istana dengan membawa perangkat Kabasarang Kolano.

Yang memimpin paling depan menggunakan pakaian berwarna oranye yang memimpin kepompok pembawa Kabasarang Kolano ini. Ia membawa Tongkat Kebesaran Kesultanan, berikut dibelakangnya membawa Bendera Kesultanan Ternate yaitu “Paji Goheba ma-Dopolo Romdidi”.

Kemudian menyusul dibelakangnya yang membawa Tempat Ludah Sultan, dibelakangnya lagi mengenakan Helm Tembaga Sultan, menyusul dibelakangnya lagi membawa Tempat Sirih Pinang, kemudian Sebilah Pedang Kebesaran dan selanjutnya berjejer ke belakang sebanyak 12 orang bocah, yang melambangkan 12 bulan dalam perhitungan tahun Hijriah.

Setelah barisan kelompok pembawa perangkat Kabasarang Kolano ini, barulah Sri Sultan keluar dari istana, sambil perlahan menapaki tangga turun dengan dikawal oleh para petinggi istana, dan petugas yang memayungi beliau selama perjalanan.

Pada saat menuruni tangga istana, seluruh hadirin terutama pada Bala Kusu se Kano-Kano mengambil sikap memberi hormat kepada Sultannya. Posisi memberikan hormat kepada Sultan dan keluarga istana menurut tradisi orang Ternate adalah dengan cara mengambil posisi duduk jongkok dengan bertumpu pada ujung jari kaki sambil mengangkat kedua tangan yang disatukan di depan wajah dengan kedua ibu jari atau kedua telunjuk ditempelkan ke ujung batang hidung. (lihat gambar). Posisi memberikan penghormatan seperti ini hampir seragam pada setiap kerajaan yang pernah eksis di Nusantara.

Setelah tiba di tangga paling bawah, segera Sang Sultan duduk di kursi tandu yang ada empat lobang, masing-masing 2 di kiri dan 2 di kanan untuk memasukan kayu pikul yang nanti di letakkan di bahu para regu tandu Sultan. Iring-iringan rombongan melewati pelataran halaman dalam depan istana sejauh kurang lebih 120 m kemudian melewati gerbang utama istana (= Ngara Upas)

Iring-iringan ini didahului oleh kelompok pembawa Kabasarang Kolano yang terdiri dari bocah berjumlah 12 orang, kemudian disusul oleh kelompok penabuh gamelan (= berbentuk gong kecil dari bahan tembaga), kemudian para pengawal dan pemandu pada sisi kiri kanan jalan. Disusul kemudian oleh Kelompok yang memikul/tandu Sri Sultan di atas kursi khusus. Kemudian di belakangnya, para Imam, Khatib, dan masyarakat umum yang mengikuti prosesi ini hingga sampai di mesjid untuk melaksanakan sholat Id.

Pada pelaksanaan sholat Idul Adha 1428 H di penghujung tahun 2007 yang lalu, Sri Sultan Ternate Drs. Haji Mudaffar Syah II mengambil keputusan untuk tidak ditandu lagi oleh para kawula di lingkungan masyarakat adat Ternate, melainkan beliau memutuskan untuk menggunakan kendaraan (mobil). Keputusan ini mungkin diambil atas pertimbangan-pertimbangan dan kondisi saat ini.. Setiap keputusan dan perintah Sri Sultan, mutlak harus dilaksanakan oleh para kawula di lingkungan masyarakat adat Ternate. Keputusan-keputusan yang diucapkan seorang Sultan (Jou Kolano) dalam bahasa Ternate dikenal dengan istilah “Idien Uci“.
Menjelang jarak 100 m dari mesjid, para kawula Ternate yang menggunakan pakaian warna-warni membentuk pagar hidup dengan posisi jongkok sambil memberikan penghormatan kepada Sang Sultan yang akan lewat untuk memasuki halaman mesjid. Setelah rombongan Sri Sultan lewat, mereka pun turut serta mengikuti rombongan untuk memasuki mesjid untuk melaksanakan sholat Id. Semua peserta yang mengikuti prosesi ini sebelumnya telah melaksanakan wudhu.

Saat melewati gapura utama halaman mesjid, Sri Sultan disambut sambil menggemakan suara takbir dan dipersilahkan menaiki tangga mesjid. Seluruh jamaah yang berada di halaman maupun pintu masuk di teras mesjid memberikan penghormatan kepadanya. Payung kebesaran yang dipakai untuk melindungi Sri Sultan hanya boleh digunakan sampai tangga teras mesjid. Payung kemudian ditancapkan pada tempat yang telah disediakan pada sisi kiri dan kanan pintu masuk teras mesjid.

Setelah Sultan dan rombongan tiba di dalam mesjid, keduabelas bocah yang membawa perangkat Kabasarang Kolano, mengambil posisi di teras mesjid pada sisi kiri dan kanan pintu utama mesjid. Mereka duduk berjejer menghadap ke timur dengan posisi tetap memegang perangkat pusaka Kabasarang Kolano ini hingga selesai pelaksanaan sholat Id. Bocah-bocah ini tidak melaksanakan sholat karena harus memegang perangkat yang menjadi tugas mereka pada hari itu.

Pada saat Sri Sultan menuju ke barisan depan, para jemaah yang berada di tengah mesjid memberikan jalan kepad sang Sultannya dengan dengan membentuk barisan di sisi kiri dan kanan. Di dalam mesjid Sri Sultan menempati posisinya pada shaf paling depan di sayap kanan atau sebelah kiri khotib yang akan menyampaikan khutbah (mimbar). Posisi ini sudah menjadi kebiasaan sejak Sultan-Sultan sebelumnya.

PELAKSANAAN SHOLAT ID
Sesaat kemudian, dikumandangkan azan. Uniknya di mesjid ini, azan dikumandangkan oleh 4 orang Muadzim (orang Ternate menyebutnya Modim) sekaligus dalam posisi berdiri berjejer di tengah-tengah mesjid tepat dibawah tiang alif (tiang tunggal di menara/kubah tengah mesjid). Kadang suara kumandang azan didengungkan lagi oleh salah seorang Muazim yang berada di teras depan yang biasanya disebut dengan “Ballaga”. Tradisi mengumandangkan azan oleh 4 orang dan didengungkan lagi dari teras mungkin karena pada masa lampau belum ada alat pengeras suara seperti yang terdapat pada setiap mesjid.

Terdapat beberapa aturan unik yang mungkin hanya terdapat di mesjid ini adalah, siapoapun yang ingin menjadi jamaah di mesjid ini tidak diperkenankan menggunakan kain sarung. Ada satu hal lagi yang juga unik adalah tidak satupun jamaah yang tidak menggunakan tutup kepala. Penutup kepala yang diperbolehkan di mesjid ini adalah, kopiah hitam, kopiah pitih (haji), tuala kuraci (topi kuning), tuala bubudo (topi putih), tuala batik (topi batik), lastar dan penutup kepala ala para Imam Ternate, para Khotib dan para Modim (merah ikat putih).

Setelah selesai azan dikumandangkan, petugas yang ditunjuk, biasanya Muadzim senior yang disebut Mahimo yang maju ke depan mimbar, dan membacakan doa untuk mengantarkan Khotib yang akan menyampaikan khutbah Id-nya. Mahimo menggunakan tongkat khotib yang diambil dari keraton tadi seraya mengucapkan :

Innallaha wamalaa ikatahuu yusalluna alannabiy, ya ayyu hallazdina aamanu sallu alaihi watas liimah…….”

Setelah mengucapkan itu, Sang khotib bangkit dari duduknya dan menerima tongkat sambil melangkah masuk ke dalam mimbar. Di mesjid Kesultanan Ternate, mimbar terbuat dari kayu berukir dan berbentuk kubus agak tinggi melebihi tinggi manusia sekita 2 m. Pada sisi samping kiri dan kanan ditutuypi kain kelambu tipis masing dua helai, demikian pula di bagian depan terdapat 2 lembar kelambu yang menjutai dari atas ke bawah dan masing-masing diikat ke kiri dan kekanan tiang kubus mimbar sehingga terlihat oleh jamaah mesjid.

Setelah Khotib berada di atas mimbar, Mahino melanjutkan :

Allahumma Salli alaa sayyidi naa Muhammad wa alaa alihi syaiyyidi naa Muhammaddin. ………………dst.”

Seperti biasanya, setelah itu Khotib menyampaikan khotbah Id. Hingga selesai. Ada satu hal lagi yang unik di sini, yaitu penyampaian materi khotbah tidak menggunakan bahasa Indonesia melainkan seluruhnya dari awal hingga akhir menggunakan bahasa Arab.

Setelah selasai pelaksanaan sholat Id, Sri Sultan yang lebih dahulu bangkit dari duduk dan melangkah keluar mesjid. Dan diikuti oleh para Imam, Khotib dan seluruh jamaah ddari dalam mesjid. Tidak ada salam salaman resmi antara jamaah dan Sri Sultan. Salaman resmi akan dilaksanakan di ruang utama Keraton setelah Sri Sultan kembali ke Istananya. Walaupun demikian masih ada beberapa jemaah yang berebut memberikan salam kepada Sri Sultan denbgan cara mencium tangan. Semua salam cium tangan diterima oleh Sri Sultan sambil melangkah keluar dari mesjid.

PROSESI PULANG DARI MESJID
Para petugas pemegang payung dan bocah pembawa perangkat Kabasarang Kolano dan kelompok penabuh gamelan dan gong sudah menempati posisinya masing-masing. Prosesi pulang dari mesjid menuju Kerati tidak jauh berbeda dengan prosesi kedatangan. Seluruh kawula masyarakat adat Ternate yang mengikuti pelaksanaan sholat Id di mesjid kesultanan ini berbondong-bondong mengantar Sultannya dan bergbung dengan rombongan prosesi hingga sampai di tangga istana.

Di balkon istana, Sri Sultan sudah ditunggu oleh Sang Permaisuri Jou ma-Boki Dr. Nita Budhi Susanti, seorang wanita keturunan Jawa Tengah yang lahir di Semarang pada tanggal 7 Juli 1968 yang diperisteri Sri Sultan Ternate pada tahun 2001. (Permaisuri dalam bahasa Ternate disebut Boki atau Jou ma-Boki). Permaisuri Sultan memberikan salaman/sungkeman pertama kali di balkon keraton dan menuntunnya masuk kedalam keraton, setelah itu baru giliran anak-anak Sultan dan para bangsawan keraton lainnya.
Mengingat banyaknya masyarakat yang hadir di hamparan pelataran halaman depan keraton sehingga tidak memungkinkan untuk semuanya masuk ke dalam. Yang diperbolehkan untuk melakukan salaman/sungkeman langsung di dalam keraton hanya pejabat-pejabat adat dan petugas-petugas yang terlibat langsung dalan prosesi ini.

PROSESI “ORO BARKAT” (”SUBA JOU“)

Satu per satu mereka melaksanakan sungkeman (dalam bahasa Ternate disebutSuba Jou”) dimulai dari Jo’ Kalem diikuti oleh kelima Imam besar mesjid kesultanan beserta Mahimo dan para Modim. Setelah itu disusul oleh bocah-bocah pembawa perangkat Kabasarang Kolano dan petugas pengawal Sultan, para Kapita dan Mahimo Kampung serta para penabuh gong termasuk seisi petugas yang mengurusi istana.

Pelaksanaan sungkeman ini seperti terlihat dalam gambar dilakukan di dalam ruang utama keraton kesultanan Ternate dengan cara jalan jongkok sambil mendekat dan pada gilirannya berkesempatan menyalami dan memegang sekaligus mencium tangan Sri Sultan. Bagi kawula masyarakat di lingkungan adat Ternate, adalah suatu kebanggaan dan harapan apabila berkesempatan bersalaman dan mencium tang Sultannya.

Bagi masyarakat yang sejak dari tadi menunggu di pelataran halam depan keraton, mengharapkan Sri Sultan muncul di balkon Istana dan memberikan salam atau lambaian tangan agar mereka melihat Sri Sultan sekali lagi sebelum pulang kerumah masing-masing. Kadang disertai dengan beberapa patah dua kata, Sri Sultan memberikan sambutan kepada para hadirin sebelum prosesi ini bubar dan dinyatakan selesai.

Sebagian masyarakat yang mengikuti prosesi Jou Uci SIbea biasanya membawa serta anak-anak mereka agar bersama mengikuti prosesi ini. Mungkin dalam batin mereka ingin menunjukan pada generasi penerusnya bahwa :

“……. Ahu mote kore se bao ma gina, tapi momongo co’ou kie se Kolano afa ……..”


Bagaimanapun dikomentari, prosesi ini sudah menjadi tradisi lama yang telah berlangsung selama ratusan tahun di daerah ini khususnya Di lingkungan masyarakat adat Ternate. Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan jaman, sampai kapankah tradisi budaya ini akan bertahan ? Wallahu wa’lam bis sawaab……

1. Narasi : www.busranto.blogspot.com dan www.ternate.wordpress.com
2. Fotografi : Special thanks for Maulana atas fotografi-nya di www.molied.multiply.com

Kololi Kie Mote Ngolo; Ritual Keliling Gunung Ternate

Kololi Kie = Mengelilingi Gunung, Mote Ngolo = Melalui Laut

Ritual yang sudah dilaksanakan Kesultanan Ternate sejak ratusan tahun lalu,  saat ini dilakukan  bersamaan dengan Festival LEGU GAM (Pesta Rakyat) Moloku Kie Raha, yang berpusat di Halaman Kadataon Sultan (Sunyie Lamo), dipimpin langsung oleh Sultan Ternate.

Kegiatan ini dilaksanakan untuk menghormati para leluhur, dan sebagai bagian dari doa untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat Ternate.

Ritual ini dimulai dari pembacaan doa oleh imam masjid Sultan (Jou Kalem), di Jembatan Kesultanan Dodoku Mari (sekarang: jembatan dodoku ali), melepas keberangkatan berbagai perahu sebagai peserta Kololi Kie, terdiri atas: Perahu Sultan Ternate, Sultan Jailolo (yang juga diajak), perahu2 komunitas adat (Soa) yang dipimpin oleh masing-masing kepala Soa. Doa dibacakan di pelabuhan, sementara perahu satu persatu mulai berjalan, diawali dengan berkelilingnya semua perahu, mengitari perahu Sultan Ternate sebanyak 3 kali.

Perjalanan dimulai ke arah utara pulau, selama perjalanan, iring-iringan perahu tiap Soa dilengkapi dengan alat musik tifa, gong dan fiol (alat musik gesek), suasana adat dan tradisional sangat terasa dalam perjalanan ini, karena saya ikut di perahu yang ditumpangi Sultan (perahu Naga, yang terbesar). sehingga, selalu berada di depan.

Dalam perjalanan, rombongan perahu akan berhenti di 3 tempat, untuk melakukan doa dan tabur bunga, sebagai penghormatan untuk para pendahulu yang telah tiada, sekaligus doa untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat dan kesultanan.

Selanjutnya, iring-iringan Perahu ini disambut acara makan siang dan Joko Kaha (upacara penyambutan tamu/pembesar) di desa Ake Rica, sehingga Sultan dan permaisuri harus turun ke tepi pantai, bersama rombongan lainnya sambil menikmati hidangan makan makanan adat ( nasi kuning -dada- ikan bakar, dll) bersama rakyatnya, diiringi alunan tifa, gong dan fiol.

Perjalanan kemudian dilanjutkan hingga selesai mengitari gunung Gamalama, kembali ke pelabuhan Dodoku Ali, tepat di depan Kadaton Sultan Ternate.

Sungguh merupakan suatu prosesi adat yang luar biasa, kurang lebih 4 jam menikmati keindahan Ternate dari laut, menyaksikan betapa rakyat masih menghormati Sultannya, sekaligus melihat Ternate dari sisi lain.

Semoga ritual seperti ini tetap lestari!!

(catatan perjalanan Kololi Kie Mote Ngolo, April 2008)
penulis : maulana
photo   : maulana