THS mendapat kunjungan rombongan Jelajah jalur rempah, Mahakarya Indonesia pada 8 Desember 2014. Rombongan yang terdiri atas Fotografer, wartawan, blogger dan sejarawan JJ. Rizal ini mengunjungi Ternate dan Tidore untuk menyaksikan sisa-sisa peninggalan sejarah dan budaya. Selama di Ternate, rombongan ini ditemani oleh Bongky dari THS. Berikut catatan perjalanan yang ditulis oleh Bongky:
Catatan
Perjalanan
Persembahan Mahakarya
untuk Mahakarya
Beradab-abad lalu, Maluku Utara dikenal
sebagai penghasil rempah yang kemudian membawa banyak perubahan di
dunia. Mulai dari Colombus yang tersesat dan menemukan benua Amerika,
hingga Alfred Russel Walace yang menulis
Letter from Ternate kepada sahabatnya Charles Darwin, yang
kemudian melahirkan Teori Evolusi.
Negeri Kepulauan ini dulunya dikenal
dengan nama Moloku Kie Raha (Moloku = Maluku; Kie = Gunung; Raha =
empat). Dinamakan demikian karena terdapat empat kesultanan yakni
Ternate, Tidore, Bacan (dahulunya bertempat di Pulau Makian) dan
Jailolo (dahulunya bertempat di Pulau Moti). Dari empat wilayah
kesultanan inilah bangsa-bangsa timur dan eropa membawa cengkeh,
pala, untuk dijual dengan nilai yang tinggi –saat itu nilainya
lebih mahal dari emas. Menurut sejarawan JJ Rizal, memiliki cengkeh
di eropa saat itu juga adalah tanda kebangsawanan.
Menelusuri Jejak Rempah
Masih tercium aroma tanah yang basah
ketika 18 orang dari rombongan Mahakarya Indonesia yang terdiri dari
blogger, wartawan, sejarawan, dan pemerhati budaya menapaki jalan
setapak kecil menuju cengkih afo 2 (afo artinya tua,
dalam bahasa Ternate). Bertempat di ketinggian ±500
mdpl, di kampung Tongole, atau dikenal juga
dengan nama kawasan air tege-tege
(air yang menetes) di Kelurahan Marikurubu Kota Ternate, Cengkih ini
konon adalah cengkeh tertua di dunia. Umurnya sudah dua abad. Cengkih
afo 1 yang berumur sekitar empat abad, sudah lama mati. lokasinya
berada di atas cengkeh ini.
Berada di dekat Cengkeh Afo,
dikelilingi cengkeh lainnya yang berumur sekitar
20 – 30 tahun, rombongan mahakarya berbincang soal bagaimana
Portugis dan Spanyol berlomba memperebutkan wilayah ini. Dan kemudian
berakhir pada monopoli perdagangan Belanda.
Dari cengkih afo,
rombongan kemudian menuju benteng Kastela (Nostra Senora del
Rosario). Benteng tertua di Indonesia ini dibangun oleh Potugis.
Awalnya dibangun oleh Antonio de Brito pada tahun 1522,
kemudian dilanjutkan oleh Garcia Henriques tahun 1525 dan pada tahun
1530 oleh Gonzalo Pereira, lalu diselesaikan oleh Wali Negeri ke
delapan Jorge de Gastro pada tahun 1540. Di benteng inilah perlawanan
rakyat atas penjajahan bangsa asing bermula. Berawal dari suatu malam
di tanggal 27 Februari 1570, Sultan Khairun diundang makan malam dan
kemudian dibunuh pada jamuan makan malam itu oleh Antonio Pimental,
atas perintah Gubernur Portugis Lopez de Mosquita.Dari peristiwa itu,
Sultan Baabullah (1570 – 1583), putra Sultan Khairun, memimpin
perjuangan rakyat melawan Portugis, yang akhirnya angkat kaki pada
tahun 1575.
Matahari telah
condong beberapa derajat ke barat ketika kami putuskan untuk makan
siang dan istirahat sejenak di kelurahan Ngade. Sajian siang ini
mulai dari kuliner tradisional, sampai pemandangan uang seribu
rupiah. Selain itu, bagian depannya terdapat salahsatu Benteng
peninggalan Portugis.
Setelah makan siang di kawasan benteng
Kota Janji (Santo Pedro,
Portugis), kami kemudian menuju Benteng Toluko. Benteng
Portugis yang awalnya dibangun oleh Francisco Serao pada tahun 1540
dan kemudian direnovasi oleh Pieter Both (Belanda) pada tahun 1610
ini bentuknya menyerupai kelamin laki-laki. Benteng ini juga sering
disebut benteng Holandia. Sultan Madarsyah pernah menempati benteng
ini pada tahun 1661.
Dari benteng Toluko, rombongan kemudian
menuju Kadaton Sultan Ternate di Kelurahan Soasio. Lokasi kedaton
Sultan Ternate awalnya bertempat di Kelurahan Foramadiahi. Di depan
Kadaton, terdapat dua lapangan, sunyie ici (lapangan kecil) dan
sunyie lamo (lapangan besar). Sebelah kiri lapangan terdapat mata air
Ake Santosa. Di samping kiri bagian belakang
kadaton, terdapat benteng Naka. Benteng Belanda yang dibangun
pada abad ke-18 ini bertujuan untuk mengawasi gerak-gerik sultan
dalam mengatur pemerintahannya.
Kemudian rombongan mengunjungi rumah
Alfred Russel Walace di Kelurahan Santiong.
Rumah ini ditetapkan oleh Syamsir Andili, Walikota
Ternate saat itu, sebagai rumah yang pernah ditempati
Walace, sewaktu sang naturalis itu
melakukan penelitiannya di Maluku Utara.
Dan sampai saat ini, masih terjadi perdebatan tentang dimana
sebenarnya rumah Walace tersebut.
Persinggahan terakhir kami di hari itu
adalah Benteng Kalamata. Benteng Portugis ini dibangun pada tahun
1540 oleh Pigafetta, kemudian dipugar oleh Pieter Both (Belanda) pada
tahun 1609. Benteng ini pernah dikosongkan dan kemudian diduduki oleh
Spanyol hingga tahun 1663. Pada tahun 1799, Mayor Von Lutnow
memperbaiki kembali benteng ini. Nama benteng Kalamata diambil dari
nama seorang pangeran Ternate yang meninggal di Makassar pada bulan
maret 1676.
Di benteng Kalamata ini, rombongan
menikmati tarian soya-soya dengan latar Pulau Maitara, Tidore dan
Halmahera. Tarian soya-soya adalah tarian yang diinspirasi dari kisah
perjuangan rakyat Ternate yang dipimpin Sultan Baabullah saat
menyerang benteng Kastela.
Foto bersama peserta jelajah Mahakarya Indonesia dengan latar belakang Pohon "Cengke Afo" (Pohon Cengkeh Tertua di Dunia) |
Sejarawan JJ. Rizal sedang menceritakan Sejarah Rempah, Cengkeh dan Pala, di perkebunan Cengkeh dan Pala Aer Tege-tege, Ternate. |
Bongky sedang bercerita tentang Cengkeh dan Pala kepada peserta jelajah Mahakarya Indonesia |
Peserta jelajah Mahakarya Indonesia di benteng Tolukko |
Foto Benteng Tolukko oleh salah satu peserta Jelajah Mahakarya Indonesia, Barry Kusuma. |
Peserta jelajah Mahakarya Indonesia mengunjungi Kadaton Sultan Ternate |
Kadaton Sultan Ternate dengan latar belakang Gunung Gamalama (foto oleh salah satu peserta Jelajah Mahakarya Indonesia, Barry Kusuma) |
menikmati sajian kuliner pusaka Ternate, Popeda dan teman-temannya. |
Peserta jelajah Mahakarya Indonesia menikmati tarian Soya-soya di dalam benteng Kalamata. |
Foto bersama di atas Ferry menuju ke Tidore, dengan latar belakang pulau Ternate. |
peserta jelajah Mahakarya Indonesia disambut oleh Sultan Tidore dan pemangku adat di Kadaton Sultan Tidore |
Kadaton Sultan Tidore (Foto oleh salah satu peserta jelajah Mahakarya Indonesia, Barry Kusuma) |
ziarah ke makam Sultan Nuku di Tidore. |