Naskah & Foto :
Fadriani
Editor: Maulana
Kamis, 29 Rabiul
Akhir 1436 H bertepatan dengan 19 Februari 2015 M, Sesaat setelah mendapat
kabar mangkatnya Sultan Ternate ke-48; H. Mudaffar Syah, saya pun bergegas
mencari info terkait berita tersebut dengan mendatangi langsung Kadaton Sultan.
Memasuki gerbang depan, suasana terlihat sepi, hanya ada penjaga dan beberapa
pengunjung yang terlihat melintas. Lamat-lamat terdengar suara orang berbicara
melalui pengeras suara yang berasal dari pendopo kesultanan. Di sana telah
ramai orang dengan khusyuknya melantunkan ayat-ayat suci al-qur’an. Di tengah
pendopo ada beberapa perempuan yang sedang sibuk merapikan sisi-sisi kain putih
sebagai sekat pada tandu yang akan mengarak Sultan nantinya. Di kursi kayu
berukiran khas yang berderet sejajar sekitar belasan jumlahnya, tampak beberapa
pemuka adat juga petinggi pemerintah daerah yang duduk di sana mendampingi
seorang ustadz muda yang terlihat khusyu memimpin pengajian. Beberapa di
antaranya pernah saya lihat terpajang wajahnya di surat kabar, yang lainnya
murni hasil tebakan dari pakaian yang mereka kenakan. Selesai pengajian,
diumumkan bahwa Jenazah Sultan diperkirakan tiba di Ternate pukul 5 sore
menggunakan pesawat Sriwijaya Air dan rencananya akan disemayamkan sekaligus
disholatkan di masjid kesultanan sebelum nantinya dikubur di area pekuburan
masjid. Sultan Ternate meninggal
dunia pada kamis dini hari, 19 Februari 2015 di rumah sakit pondok indah,
Jakarta, pukul 01.35 WIB, setelah dirawat beberapa hari semenjak sakit yang
sudah dialami beberapa bulan belakangan.
Pukul 16.30 WIT, ribuan warga telah
berkumpul memadati area kedaton Mulai dari anak bayi yang masih dalam gendongan
sampai kakek tua yang berdiripun harus dibopong. Kontras dengan suasana pagi
tadi yang masih terlihat sepi. Ada sebagian yang merupakan warga disekitaran
kedaton, namun tak sedikit pula yang harus menyeberang dari pulau tetangga. “Biar tong tunggu dari pagi me tara apa-apa.
Yang penting bisa lia pe jo Ou” ungkap seorang nenek berkebaya putih lusuh
yang duduk selonjoran di depan gerbang kedaton ketika ditanyakan sejak jam
berapa ia menunggu di tempat ini. Ia jauh-jauh datang dari pulau Hiri hanya
untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Jo Ou (Jo: Tuan, Ou: Agung; yang dipertuan agung); sebutan mereka kepada sang Sultan yang telah di panggil
KeharibaanNya.
Waktu telah
menunjukkan pukul 18.30, Matahari mulai condong ke barat, sayup-sayup terdengar
alunan ayat al-qur’an dari masjid sekitar pertanda sesaat lagi maghrib
menjelang. Namun apa yang dinanti belum juga kelihatan. Antusiasme masih
terlihat dengan semakin banyak berdatangan orang-orang memenuhi setiap ruas
jalan. Tak ada celah sedikitpun bahkan untuk mempersilahkan iring-iringan
melewati jalan menuju kedaton. Puluhan bahkan mungkin ratusan petugas keamanan
mencoba menertibkan warga yang mulai terlihat gelisah. Detik-detik berikutnya
terasa begitu lambat hingga akhirnya saat gelap mulai menyelimuti pandangan,
dari kejauhan tampak lampu sirine biru dengan suara meraung memecah keadaaan.
Semua kamera siap dibidikkan… di bawah sana, sebagian besar warga telah bersiap
dengan gadgetnya masing-masing dengan lampu kamera yang berkedap kedip. Setelah mobil
polisi dengan sirine biru melintas, orang-orang berpakaian adat berwarna
merah kuning yang agak sulit dikenali (karena lampu jalanan yang hanya temaram)
memenuhi jalanan yang tersisa, merekalah Bala kusu se kano-kano, abdi kesultanan Ternate.
Pekikan kalimat talbiyah oleh rombongan tersebut
spontan diikuti semua warga yang hadir menyaksikan, begitu khusyuk dan membuat
hati berdesir. “Laa Ilaaha Illallaah”
“Laa Ilaahaillallaah” “Laailaaha Illallaah” Kalimat ini diucapkan
berulang-ulang, menggema menyentuh relung hati siapa saja yang mendengarkan. Tiba-tiba
terdengar teriakan yang ditujukan ke arah kami yang sedari tadi berdiri di atas
tugu Adipura. “Yang di atas turun samua!!!
Tarada yang boleh lebe tinggi posisinya dari Sultan!! Turun!!!” Bentak
beberapa orang dengan tatapan tajam menakutkan. Dalam kondisi seperti ini dan
kami harus turun? Turun kemana?? Di bawah jalanan padat oleh warga yang
berdesak-desakan. Sementara di depan sana sudah mulai terlihat tandu putih yang
membawa jenazah sang Sultan. Pilihan cepat yang harus kami ambil adalah; turun
dan berdesak-desakan dengan warga lainnya ataukah bertahan untuk tak melewatkan
mengambil gambar terbaik yang mungkin melintasnya jauh lebih cepat dari yang
diperkirakan. Dan kamipun memilih tetap bertahan dengan memposisikan badan
lebih rendah dari Tandu yang melintas, sembari tangan tengadah memegang kamera
dengan jepretan yang semakin liar. Begitu iring-iringan tandu semakin mendekat
terdengar suara tangisan bersahutan di antara pekikan kalimat talbiyah yang
tetap menggema. Allaahu Akbar…. Momen yang tak kan pernah dilupakan oleh siapapun
yang hadir saat itu.
Jenazah Sultan yang tiba di bandara Sultan Baabullah sore itu, digotong
oleh Bala kusu se kano-kano disertai iring-iringan dan
sambutan masyarakat sepanjang jalan dari Bandara sampai ke Kadaton yang
berjarak sekitar 5 Km.
Setelah
iring-iringan memasuki Kadaton Sultan, semua warga pun bubar meninggalkan tempat, masih dengan perasaan
haru yang berkecamuk. Ada wajah puas yang terpancar dari wajah mereka meskipun
tak dielakkan raut kesedihan masih terpancar di sana. Masih ada prosesi penting
yang harus mereka hadiri keesokan harinya, yaitu upacara pemakaman.
Jum’at, 20 Februari 2015
Pukul 08.30 pagi
Prosesi pemakaman Sutan Ternate dimulai dengan Sholat Jenazah yang dilaksanakan
di ruang utama kadaton disusul pembacaan riwayat hidup kemudian beberapa sambutan di
antaranya oleh pihak keluarga, Sultan Tidore, Walikota Ternate, Wakil Gubernur
Provinsi Maluku Utara tausiyah oleh mufti kesultanan, Habib Said Abubakar Alatas Ternate dan ditutup dengan pelantikan H. Arifin Madjid sebagai Kimalaha Marsaoli dan H. Zulkiram Hairuddin sebagai Jogugu oleh Munir Amal Tomagola selaku Kimalaha Tomagola, mewakili Bobato Adat Kesultanan Ternate (Plt. Sultan), dan memperkenalkan (sinonako) Bukhari Efendi Muhammad Djabir Sjah sebagai kapita lao (Panglima Laut, Putra Tertua Kapita Lao
sebelumnya yang telah mangkat) yang sudah dilantik sebelumnya oleh Sultan.
Di halaman depan kadaton, telah bersiap pasukan pengiring jenazah yang menggunakan
pakaian adat kesultanan dengan warna yang berbeda-beda. Diantara mereka ada
yang pengiring foto juga yang bertugas membawa nisan. Selain itu juga tampak
warga memenuhi halaman kadaton seolah tak ingin ketinggalan peristiwa berharga dalam hidup
merea juga keinginan untuk turut serta melepaskan kepergian sang Sultan
menghadap Sang Khalik. Suasana mulai haru ketika pihak keluarga menyampaikan
sepatah dua patah kata. Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang berkenan
membantu segalanya di saat Sultan terbaring lemah dalam sakit hingga menjemput
ajalnya. Juga permintaan maaf sekiranya dalam perjalanan hidup beliau terselip
khilaf yang menggores hati siapapun termasuk rakyat beliau. Sampai di sini, suasana
berganti haru. Tak ada yang mampu menahan gejolak di hati. Isak tangis memenuhi
seisi kedaton meskipun terkesan berusaha ditahan agar tak sampai merusak
suasana khidmat dalam acara tersebut. Terlihat beberapa orang dari pasukan
pengiring jenazah yang mencoba menghapus air mata yang tak sanggup mereka
bendung.
Pada kesempatan
sambutan oleh Sultan Tidore, beliau menitipkan pesan terkhusus kepada semua
anak-anak Sultan untuk tetap menjaga sholat juga amal perbuatan lainnya dengan
demikian ayah mereka, Sultan Ternate bisa diberikan kelapangan di alam
kuburnya. Do’a anak-anak Shalehlah yang akan memudahkan sang ayah menghadap
RabbNya. Demikian pesan Sultan Tidore. Suasana
haru juga mulai terasa begitu mufti kesultanan menyampaikan tausiyahnya. Wasiat
dari sultan disampaikan dihadapan rakyatnya. Di antaranya, beliau menitipkan
anak-anaknya kepada Sultan Tidore. Beliau juga berpesan agar semua anak-anak
dan rakyatnya bersatu. “Cukup sudah
tahun-tahun sebelumnya menjadi tahun penuh ujian bagi kesultanan Ternate.
Jangan kita biarkan kesultanan ini mau diperdaya dan dipecah belah oleh pihak
luar” Pesan sang mufti. Beliau juga menyampaikan wasiat yang lainnya bahwa
Sultan Mudaffar Syah adalah Sultan yang memegang prinsip Keislaman berlandaskan
pemahaman ahlus sunnah wal jama’ah sehingga beliau meminta agar setelah
mangkatnya segera ditunjuk pengganti beliau layaknya penunjukkan Abu Bakar
pasca wafatnya Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa salaam. Tausiyah kemudian
ditutup dengan doa.
Iring-iringan jenazah pun menuju Sigi Lamo (Masjid Kesultanan Ternate) yang
tak jauh dari Kadaton, untuk di sholatkan dan selanjutnya dimakamkan di kompleks
pemakaman keluarga Sultan di belakang masjid tersebut, berdekatan dengan makam
sang Ayah, Iskandar Djabir Sjah, Sultan Ternate ke-47.
Selamat Jalan Khalifah Turrasid Wa Tubadirrasul Sirajul Mulki Amiruddini
Maulana Sultan Ternate Kolano Moloku Kie Raha Drs. Alhajji Mudaffar Sjah, M.Si.
Husnul khatimaah.